Warga Belanda Tabur Bunga di Laut Jawa dan Niat Bangun Monumen di Pulau Bawean
Laporan Wartawan Surya, Sri Handi Lestari
TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA - Sejak Tahun 2012, setiap tanggal 27 Februari, Joop Nahuyen (72), warga negara Belanda, melakukan rutinitas untuk menabur bunga di perairan Laut Jawa, tepatnya di perairan sejauh 60 Km dari Pelabuhan Pulau Bawean.
Kamis (27/2/2014), Joop melakukan perjalanannya yang ketiga. Tidak hanya menabur bunga, dia juga berencana untuk membangun monumen tentang tiga kapal Belanda yang tenggelam saat Perang Sekutu dan Jepang Tahun 1942 di Pulau Bawean.
Joop didampingi asistennya, Intrias bersama sahabatnya, Karel Ootens dan istri Karel, Mariati Simatupang Ootens, berangkat dari sebuah hotel tengah kota Surabaya.
“Ini merupakan perjalanan saya yang ketiga. Semoga kondisi laut baik dan kita bisa sampai ke tujuan dengan aman,” ungkap Joop dengan Bahasa Indonesia terbata-bata.
Sepanjang perjalanan menuju ke Pelabuhan Gresik, Joop bercerita bahwa kegiatan tabur bunga di perairan Laut Jawa ini dilakukannya sejak Tahun 2012, di setiap tanggal 27 Februari.
Hal itu tak lepas dari tanggal dan bulan saat tiga kapal perang Belanda di Tahun 1942 ditenggelamkan oleh tentara Jepang sebelum menduduki Indonesia yang waktu itu bernama Hindia Belanda. Kapal perang Belanda itu, masing-masing bernama Kapal MS De Ruyter, MS Java dan MS Kortenaer.
“Ayah saya, namanya Antonie Nhuijsen. Merupakan tentara Angkatan Laut Belanda yang bertugas sebagai telegrafis di Kapal MS De Reyter. Dia merupakan satu diantara 923 tentara angkatan laut yang dulunya juga disebut Marinir Belanda di tiga kapal itu. Seluruhnya tewas bersama kapal yang tenggelam saat perang di perairan Laut Jawa,” cerita pria kelahiran Kampung Tambaksari, Surabaya, Agustus 1942 itu.
Sang ayah, Antonie, disebut Joop, lahir dan besar di Magelang. Kemudian menikah dengan almarhum ibunya, Charlotte yang lahir dan besar di Ngawi. Saat itu, Antonie sudah menjadi tentara Belanda dan bertugas di Surabaya. Keluarga inipun pindah dan tinggal di Surabaya.
Saat peristiwa Perang Jepang melawan Sekutu, yang terdiri atas Amerika Serikat (AS), Inggris dan Belanda itu, Joop masih dalam kandungan sang ibu. Tepatnya masih tiga bulan. Telah hadir sang kakak, Henry Nahuysen, berusia 2 tahun.
“Saya kemudian lahir di sebuah klinik di Tambaksari. Sekarang masih ada tapi sudah menjadi Panti Asuhan Melania di depan Stadion Tambaksari. Sudah saya kunjungi dan saya ditunjukkan sebuah tempat tidur berusia 100 tahun yang diduga pernah saya pakai saat masih bayi dulu,” cerita Joop.
Sepeninggal sang ayah, saat kondisi Surabaya diduduki Jepang, Joop mengaku hidup dan besar di sebuah penampungan khusus orang Eropa di masa itu. Dia menyebut, orang Jepang tidak menyukai orang-orang Eropa sehingga mereka ditampung di tempat khusus.
Saat perang melawan mempertahankan kemerdekaan di Tahun 1945, Joop dan seluruh keluarganya dibawa ke kamp penampungan di Jombang. Di sebuah pabrik gula yang tidak beroperasi karena masa perang. “Saya masih ingat. Suasana sulit sekali. Sebagai anak kecil, saya hanya makan sekali sehari. Itu saya alami hingga tahun 1950-an,” lanjut Joop.
Ketika masa perang dan pergulatan usai, Joop dan keluarganya kembali ke Surabaya. Tapi suasana sudah beda. Keluarganya yang pernah punya tempat tinggal di daerah Peneleh itu sudah berganti pemilik. Mereka terlunta-lunta. Kemudian ada tawaran kembali ke Belanda dari Pemerintah Indonesia saat itu dan merekapun menerima.
Kembali ke Belanda ternyata tidak mudah. Dengan naik kapal, bersama ratusan orang Belanda lainnya, di Tahun 1956, Joop sekeluarga menjalani perjalanan selama tiga bulan. Dari Pelabuhan Tanjung Perak, kapal berlayar dengan beberapa kali sandar di Semarang, Jakarta, Batam, Medan, Aceh, Srilangka, Timur Tengah, Terusan Suez dan masuk ke Belanda.
Di Belanda, Joop yang kini membuka usaha konsultan teknik dan infrastruktur perkeretapian di Bandung, Jawa Barat inipun tidak begitu saja merasakan kebahagian. “Pemerintah Belanda saat itu kurang begitu peduli dengan warganya yang kembali dari daerah jauh. Kami tetap menjadi orang asing di negara sendiri,” cerita Joop.
Hal itu membuat keluarga Nahuysen memilih tinggal di kota kecil di sebuah daerah di Belanda. Selama tinggal hingga dia dewasa, ada rasa trauma tentang Indonesia. Tapi dia juga merasa penasaran akan sang ayah, yang tidak pernah ditemuinya sejak dilahirkan.
Sang ibu, Charlotte, juga dirasa masih mengalami kesedihan terus menerus hingga dia tidak banyak bercerita tentang Antonie. Sang ibu hanya memberikan foto-foto almarhum ayahnya. Kemudian Joop menambahkan dengan banyak mencari buku-buku tentang tentara Belanda di Hindia Belanda, tentang Hindia Belanda sendiri, kemudian berlanjut tentang Indonesia saat ini.
Semuanya dikumpulkan dalam sebuah lemari besar. Namun Joop mengaku tidak ada keinginan untuk pergi atau berkunjung di Indonesia. Tapi semua berubah ketika anak pertamanya, Meriel, bekerja di Jakarta dan dirinya berpisah dengan istrinya. Kesendiriannya bersama anak keduanya, Mark, membuat Merial mengajak sang ayah untuk ke Indonesia.
“Tapi karena masih trauma saya tidak mau ke Indonesia. Setelah dua tahun berlalu, Merial memaksa saya kembali untuk ke Indonesia sambil mengancam, bila tidak mau, jangan anggap dirinya sebagai anak,” kisah Joop.
Ancaman itu membuat Joop luluh. Dia teringat akan masa kecilnya yang tanpa ayah. Maka di Tahun 1997, Joop memutuskan mengunjungi putrinya di Indonesia. Sesampainya di Indonesia, Joop melihat banyak perbedaan di Indonesia. Dia juga merasakan sesuatu yang berat untuk ditinggalkan.
Hal itu tak lepas dari koleksi buku tentang Indonesia yang dimilikinya. Ketika di Belanda dia membaca buku-buku itu sekedarnya saja. Tapi ketika sudah berada di Indonesia, dia menjadi penasaran ingin mencari semua hal dan tempat yang dituliskan di buku-buku itu.
March 02, 2014 at 04:23AM