Urusan Capres-Cawapres Mestinya Dilakukan di Tanah Air
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kemandirian bangsa menjadi impian rakyat, karena banyak bidang dan sektor kehidupan masyarakat Indonesia ditentukan pihak asing, baik langsung maupun tak langsung. Jika dalam proses pembahasan dan penentuan pasangan capres-cawapres untuk pilpres 2014 juga melibatkan pihak asing atau dilakukan di negara lain, sungguh sangat memprihatinkan.
“Urusan capres-cawapres mestinya dilakukan di Tanah Air. Jangan libatkan pihak asing, sebab jika itu dilakukan, pemerintahan akan dipengaruhi dominasi kepentingan asing,” ujar pengamat politik dari Universitas Paramadina, Fathor Rasi, MA, kepada pers, Jumat (2/5/2014).
Fathor mengaku, dirinya mendengar rumor rencana pertemuan pembahasan mengenai pendamping capres PDIP Joko Widodo atau Jokowi akan dilakukan Ketua umum PDIP Megawati dengan Jusuf Kalla (JK) di Malaysia.
“Apabila pertemuan itu belum dilakukan, sebaiknya dibatalkan saja dan masalah itu dibicarakan di dalam negeri. Namun jika pertemuan telah terjadi, saya menyesalkan dan ikut prihatin,” ujar Fathur.
Menurut dosen yang tergabung dalam Forum Intelektual Bebas ini mengatakan, mestinya Megawati dan petinggi PDIP memahami kondisi psikologis hubungan antara Indonesia dan Malaysia yang sering ‘panas-dingin’ dan ‘turun-naik’ karena persoalan TKI, klaim sejumlah hasil karya budaya Indonesia.
Menyinggung makin menguatnya JK sebagai calon pendamping Jokowi, Fathor hanya mengingatkan bahwa PDIP harus belajar juga dari sejarah politik dan pemerintahan Indonesia yang belum lama berlalu, yaitu ketika pasangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kalla berkuasa. Juga ketika pemilu 2009 di mana Megawati-Prabowo berhadapan dengan SBY-Boediono dan juga JK-Wiranto.
Lebih lanjut Fathor menegaskan, apabila benar-benar pasangan Jokowi-JK diresmikan, sebagai duet capres yang diusung PDIP-NasDem dan beberapa partai yang akan bergabung, maka apa yang disebut ‘kawin paksa’ benar-benar terjadi.
“PDIP dan pimpinannya telah ‘dikuasai’ oleh lembaga survei dan pengamat yang terus meyakinkan bahwa pasangan Jokowi-JK sangat ideal. Sejarah akan membuktian kemudian bahwa sejumlah kendala akan menghadang efektifitas pemerintahannya,” kata Fathor.
Dari sisi demokrasi, kata Fahtor, jika kawin paksa Jokowi-JK , juga membuat kemandegan. Pasalnya, publik akan menilai kepemimpinan hasil pilpres 2014 dengan istilah 4L (lho lagi, lho lagi). Artinya, figur lama yang sudah berkuasa, ingin berkuasa kembali dan tidak memberi kesempatan pada pemimpin yang belum pernah berkuasa.
May 02, 2014 at 09:41PM