Kubu Prabowo akan Kuasai Pimpinan DPR/MPR

Kubu Prabowo akan Kuasai Pimpinan DPR/MPR
Tribunnews.com/Randa Rinaldi
Suasana Open House di rumah dinas Ketua MK, Hamdan Zoelva 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Keberuntungan Fraksi PDI Perjuangan di DPR RI hasil pemilu 2014 tidak sebaik Fraksi Partai Demokrat lima tahun lalu.

Saat itu, Demokrat selaku peraih suara terbanyak di parlemen otomatis mendapat jatah kursi ketua DPR RI, sedangkan tahun ini, harus melalui pemilihan.

Melihat atmosfer politik yang menguat pada dua kubu, Koalisi Merah Putih yakni partai politik pendukung Prabowo - Hatta pada Pilpres lalu, akan menguasai pimpinan parlemen.

Kondisi ini akan terjadi setelah revisi Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 juga tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).

Apalagi Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak seluruh permohonan uji materi UU MD3 yang diajukan PDI Perjuangan, Senin (29/9) sore.

Menurut Undang-undang hasil revisi, parpol pemenang pemilu tak lagi otomatis mendapat jabatan ketua DPR dan MPR.

Dengan demikian, PDI Perjuangan sebagai pemenang pemilu legislatif 2014 tidak otomatis mendapatkan posisi ketua DPR periode 2014-2019.

"Menolak para pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva, saat membacakan putusan di Gedung MK, Jakarta, Senin (29/9).

Dalam amar putusan, ada dua hakim konstitusi yang berbeda pendapat atau dissenting opinion, yakni Arief Hidayat dan Maria Farida Indrati.

Putusan itu terkait permohonan dengan nomor perkara 73/PUU-XII/2014 yang diajukan PDI Perjuangan yang diwakili Megawati Soekarnoputri dan Tjahjo Kumolo, serta empat orang perseorangan, yakni Dwi Ria Latifa, Junimart Girsang, Rahmani Yahya, dan Sigit Widiarto.

Mereka menguji aturan pemilihan pimpinan DPR dan pimpinan alat kelengkapan DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 84, Pasal 97, Pasal 104, Pasal 109 Pasal 115, Pasal 121, dan Pasal 152 UU MD3.

Aturan tersebut dianggap merugikan hak konstitusional PDI-P selaku pemenang Pemilu 2014.

Dengan aturan itu, para pemangku jabatan di parlemen akan dipilih langsung oleh anggota DPR. Jabatan itu untuk pimpinan DPR, pimpinan komisi, badan legislasi, badan anggaran, badan kerja sama antar-parlemen (BKSAP), mahkamah kehormatan dewan, dan badan urusan rumah tangga (BURT).

Mahkamah berpendapat, perubahan mekanisme pemilihan pimpinan DPR dan alat kelengkapan lain dalam UU MD3 tidak bertentangan dengan konstitusi. Menurut MK, memilih pimpinan di parlemen merupakan kewenangan anggota DPR.

Hal itu dianggap lazim dengan sistem presidensial dengan multipartai. Menurut MK, kompromi antarparpol sangat menentukan dalam pemilihan pimpinan di DPR. "Kompromi dan kesepakatan tidak bisa dihindari," ucap Hamdan.

Dampak lebih lanjut dari berlakunya UU MD3 ini akan dirasakan dalam pemilihan pimpinan DPR dan MPR. Pengamat politik, Ari Junaedi mengatakan bendera Demokrasi kembali berkibar setengah tiang.

Hal ini terjadi usai MK menolak gugatan yang diajukan PDIP dan Khofifah Indar Parawansa soal keabsahan UU MD3.

Menurut Ari, UU MD3 sendiri lahir dari gagasan Koalisi Merah Putih untuk menguasai pimpinan dan alat kelengkapan DPR.

  "Padahal secara tradisi politik yang selama ini berlaku dan sekarang pun masih diterapkan di DPRD tingkat I dan II, pimpinan DPR diduduki oleh pemenang pemilu," ungkap Ari.

Dengan berlakunya UU MD3 yang disahkan 8 Juli 2014, sehari menjelang Pemilu Presiden lalu, maka akan memudahkan Koalisi Merah Putih untuk mendudukkan kader-kadernya di pimpinan dan alat kelengkapan DPR. Alhasil, hal itu senafas dengan semangat Undang-Undang Pilkada.

Lebih jauh, Mahkamah Konstitusi berpendapat, tidak ikut sertanya DPD dalam pembahasan UU MD3 bukan persoalan konstitusional. Masalah itu dianggap hanya berkaitan dengan tata cara yang baik dalam pembentukan UU.

Menurut MK, pembentukan UU yang tidak mengikuti aturan tata cara pembentukan UU tidak serta-merta membuat UU yang dihasilkan dianggap inkonstitusional.

Bisa saja UU yang dihasilkan sesuai aturan, tetapi materinya justru bertentangan dengan UUD 1945.

Sebaliknya, UU yang dibuat tidak sesuai aturan justru memiliki materi yang sesuai UUD 1945.

Perubahan UU MD3 yang dilakukan setelah diketahui hasil pemilihan umum juga tidak bertentangan dengan konstitusi.

MK menganggap hal itu lazim dilakukan dalam pembentukan UU MD3 sebelumnya. Bahkan, perubahan UU MD3 dapat terjadi segera setelah pelantikan anggota baru Dewan.

MK hanya mengingatkan, perubahan UU MD3 setiap lima tahun sekali tidak membangun sistem yang matang dan akan jadi permainan politik.

Pada masa mendatang, MK menyarankan pembentukan UU MD3 tidak dilakukan lima tahun sekali. Revisi hanya dilakukan apabila benar-benar diperlukan.

Dalam amar putusan yang dibacakan di Gedung MK, Jakarta, menurut Mahkamah, perubahan pengaturan mekanisme pemilihan pimpinan dan alat kelengkapan DPR tidak bertentangan dengan prinsip kepastian hukum yang adil serta persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana yang didalilkan pemohon.

Mahkamah berpendapat, alasan pemohon tidak berdasar konfigurasi pimpinan DPR haruslah mencerminkan konfigurasi pemenang pemilu dengan alasan menghormati kedaulatan rakyat yang memilih.

Pasalnya, pemilu adalah untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, serta DPRD, bukan untuk memilih pimpinan DPR.

Menurut Mahkamah, masalah pimpinan DPR menjadi hak dan kewenangan anggota DPR terpilih untuk memilih pimpinannya yang akan memimpin lembaga DPR.

Hal itu dianggap lazim dalam sistem presidensial dengan sistem multipartai, karena konfigurasi pengelompokan anggota DPR berubah ketika berada di DPR berdasarkan kesepakatan masing-masing.

Berbeda halnya dengan sistem presidensial dengan dua partai politik, yang secara otomatis fraksi partai politik dengan jumlah anggota terbanyak menjadi ketua DPR.

Kalaupun dipilih, hasil pemilihannya akan sama karena dipastikan partai politik mayoritas akan memilih ketua dari partainya.

"Dalam praktik politik di Indonesia yang menganut sistem presidensial dengan sistem multipartai, kesepakatan dan kompromi politik di DPR sangat menentukan ketua dan pimpinan DPR, karena tidak ada partai politik yang benar-benar memperoleh mayoritas mutlak kursi di DPR, sehingga kompromi dan kesepakatan berdasarkan kepentingan adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari," kata Hamdan.

"Berdasarakan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, mekanisme pemilihan pimpinan DPR dan alat kelengkapan DPR adalah kebijakan hukum terbuka dari pembentuk Undang-Undang yang tidak bertentangan dengan UUD 1945," katanya.

Terkait dalil adanya diskriminasi dan perbedaan antara mekanisme penentuan pimpinan DPR dan pimpinan DPRD, menurut Mahkamah, hal tersebut bukanlah diskriminasi.

Praktik diskriminasi, menurut Mahkamah, adalah perbedaan yang dilakukan atas dasar ras, warna kulit, suku, dan agama.



September 30, 2014 at 02:23AM

Leave a Reply