Pengungsi Afghanistan, Beli Permen Karet Saja Ditawar

Pengungsi Afghanistan, Beli Permen Karet Saja Ditawar
Surya, Yuli Ahmada
Ilustrasi

TRIBUNNEWS.COM, BOGOR - Lis Satyawati (26), pemilik Toko Mitha di Pasar Festival, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, terdengar berteriak memakai bahasa Persia, Jumat (24/10/2014). Ia berteriak sambil tertawa saat meladeni seorang pengungsi Afghanistan berkepala botak di tokonya.

Pengungsi itu ngotot menawar harga sebuah permen ka­ret. Harganya se­benarnya cuma Rp 2.000, tapi pengungsi itu masih menawar juga menjadi Rp 1.000. Rupanya, memang seperti itu karakter pengungsi di sana. Jika membeli sesuatu, apa saja ditawar harganya.

"Mereka menawar semuanya. Tadi saya tidak kasih. Cuma pengungsi Afghanistan yang menawar permen karet," kata Lis kepada Warta Kota sambil menggeleng-gelengkan kepala, Sabtu sore itu.

Sejak mengelola toko, Lis memang jadi lancar berbahasa Persia. Sebab pengungsi Afghanistan yang paling banyak datang ke tokonya.

Ujang Ibrahim (40), Pemilik warung di Kampung Malandingan, Desa Batulayang, Kecamatan Cisarua, juga merasakan 'gilanya' pengungsi saat menawar. Pengungsi selalu membandingkan harga di pasar dan harga di warung milik Ujang. Bahkan perbedaan Rp 1.000 saja pengungsi akan batal membeli.

Padahal jarak antara Kampung Malandingan dan Pasar Cisarua jauh. Sekitar sepuluh menit menumpang ojek dengan ongkos Rp 10.000. Atau 45 menit berjalan kaki. "Tapi mereka (pengungsi) bisa lebih memilih berjalan kaki ke pasar hanya karena perbedaan lima ratus rupiah," kata Ujang.

Ogah jual pulsa

Sekarang Ujang juga sudah tak mau lagi menjual pulsa elektronik untuk telepon seluler ke pengungsi. "Urusannya bisa repot kalau jual pulsa ke pengungsi," kata Ujang kepada Warta Kota, beberapa waktu lalu. Kekacauan sering terjadi apabila terjadi gangguan.

Ujang menceritakan, pengungsi Afghanistan dan Pakistan saat mengisi pulsa selalu bertahan di warung menunggu pulsa masuk ke ponselnya. Masalah muncul begitu ada gangguan sehingga masuknya pulsa tertunda. Pengungsi-pengungsi itu kebanyakan tak mau tahu. Mereka justru menuduh Ujang penipu.

Ada yang meminta uangnya dikembalikan dulu. Lalu setelah pulsa masuk nanti dia berjanji akan datang lagi ke warung untuk membayar. Tapi kemudian banyak yang tak datang lagi. Padahal pulsanya sudah masuk.

"Jadi susah. Mereka suka bohong. Makanya saya malas jual pulsa ke pengungsi," kata Ujang.

Tidak pergi-pergi

Bagi pengungsi-pengungsi itu, hidup irit adalah keharusan karena hidup tergantung kiriman dari keluarga di negara asalnya. Makanya mereka berusaha menawar setiap membeli barang. Mereka harus irit sebab tak pernah tahu kapan permohonan suakanya diterima. Lalu mereka juga tak pernah tahu juga sampai kapan keluarganya sanggup mengirimkan uang ke mereka.

Zakir Hussein (18), pengungsi asal Afghanistan mengakui hal itu. Zakir mengaku tak pernah ke mana-mana saat siang hari. Dia lebih memilih berada di dalam rumah kontrakannya di Kampung Batukasur, Desa Batulayang, Kecamatan Cisarua. "Terlalu membuang uang kalau saya harus keluar siang hari," ujar Zakir.

Di rumah kontrakan itu dia juga tak sendirian. Zakir tinggal bersama lima temannya. Sehingga mereka bisa patungan untuk membayar uang kontrakan sebesar Rp 800.000 per bulan. Setiap hari mereka juga selalu memasak dan makan bersama. Uangnya ditanggung secara bersama. (Warta Kota)



October 31, 2014 at 09:27AM

Leave a Reply